ketika.id – Di tengah gempuran modernitas, sebagian besar masyarakat Jawa masih memegang teguh warisan budaya leluhur, salah satunya adalah tradisi “Tingkeban” atau yang juga dikenal dengan “Mitoni”.
Ritual yang sarat makna ini secara khusus diperuntukkan bagi ibu hamil yang memasuki usia kandungan tujuh bulan. Lebih dari sekadar perayaan, Tingkeban merupakan wujud syukur, doa keselamatan, serta harapan baik bagi ibu dan calon bayi hingga proses persalinan tiba.
Kata “Tingkeban” sendiri berasal dari kata “tingkeb” yang berarti tutup atau kunci. Secara simbolis, usia tujuh bulan kehamilan dianggap sebagai fase penting di mana kandungan sudah semakin kuat dan stabil. Oleh karena itu, diadakan ritual khusus sebagai bentuk permohonan agar kehamilan berjalan lancar, ibu dan bayi sehat, serta terhindar dari segala marabahaya.
Inti dari upacara Tingkeban adalah prosesi “Siraman”. Ibu hamil didudukkan di tempat yang telah dihias dengan janur kuning dan berbagai ornamen tradisional lainnya. Secara bergilir, anggota keluarga dan sesepuh akan menyiramkan air bunga setaman ke tubuh ibu hamil sambil melantunkan doa-doa keselamatan. Air bunga yang digunakan dipercaya memiliki energi positif dan memberikan kesegaran serta ketenangan bagi ibu dan calon bayi.
“Siraman ini bukan hanya sekadar membasuh tubuh, tetapi juga membersihkan diri secara lahir dan batin,” tutur Ibu Ratna (52), seorang sesepuh adat yang sering memimpin upacara Tingkeban di Surabaya. “Setiap siraman yang dilakukan oleh anggota keluarga juga merupakan wujud kasih sayang dan dukungan moral bagi ibu hamil.”
Selain siraman, terdapat beberapa rangkaian ritual lain yang menyertai Tingkeban, meskipun pelaksanaannya dapat bervariasi di setiap daerah. Beberapa di antaranya adalah:
















